Sabtu, 28 Maret 2009

Pendekar Jihad Sekitar Exxon

Pendekar Jihad Sekitar Exxon
Oleh: Imran MA (Lhokseumawe) - 23/03/2009 - 00:14 WIB

“Allah Akbar… Allahu Akbar!” pekik sejumlah pria lantang. Berhamburan melompat dari mobil pick up. Wajah mereka ditutup kain, hanya mata yang terlihat, persis gerilyawan Hamas, Palestina. “Kami baru pulang jihad,” ujar seorang di antaranya. Jihad yang dimaksud pria itu tak sungguhan, tapi sekadar ‘perang-perangan’.

Januari lalu, perbukitan Cot Kareung di Desa Blang Weu Panjoe, Kecamatan Blang Mangat, Lhokseumawe, memang berubah seakan medan tempur. Saban waktu, para santri berbagai pesantren dan warga yang ingin berjihad ke Palestina berkumpul. Tidak untuk mempelajari ilmu agama, melainkan belajar karate.

Front Pembela Islam (FPI), di belakang ‘latihan tempur’ para pemuda itu. Sebuah pesantren didirikan untuk menjadi markas, namanya Darul Mujahidin. Pimpinan pesantren bersemboyan “hidup mulia bermatikan syahid” itu, menyatakan telah mencetak puluhan lulusan yang siap membantu pejuang Hamas melawan serdadu Israel.

Pesantren ini hanya memfasilitasi segala kebutuhan santri dari penginapan sampai logistik untuk calon pendekar. Tanah lapang tempat latihan, letaknya berdampingan dengan lintasan pipa milik Exxon Mobil, raksasa minyak asal Amerika Serikat (AS).
Soal guru ilmu perang dan karate, diserahkan ke FPI Pusat di Jakarta.

Dua pelatih dikirim untuk mengajarkan teknik dasar bela diri; gerakan kaki dan tangan, serta cara efektif melumpuhkan lawan. Ilmu dasar kemiliteran, diasuh tutor khusus yang juga kiriman Jakarta.

Ketua FPI Aceh, Yusuf Al Qardhawi, mengatakan, selama latihan tempur dan taktik perang gerilya, mereka digembleng oleh Abu Alyas, 38 tahun. Alyas, katanya, adalah seorang mujahidin yang telah berpengalaman di Afghanistan, berperang bersama kelompok Abu Sayyaf di Filipina Selatan dan bergabung dengan pejuang Hamas.

“Kita tidak memandang suku. Hanya memandang agama, untuk menegakkan amar makruf nahi mungkar, biar kuat kita harus berjaringan,” ujar Tengku Muslim At-Thahiri, petinggi FPI Aceh lain, pada ACEHKINI, Januari lalu.

Sistem rekrutmen pendekar tak serupa pesantren lain di Aceh. Serangkaian seleksi harus dilalui, dari tes ilmu agama, ketaatan menjalankan ibadah dan yang terpenting siap mati di Jalur Gaza. Tahap akhir, penentu kelulusan usai latihan fisik.
Peminat jihad di Aceh terbilang ramai. Menurut Muslim, yang mendaftar mencapai 500 santri. Namun tak semuanya lulus seleksi. “100 lewat administrasi, dari latihan gugur lagi, tinggal 80 orang yang siap dikirim ke Palestina,” jelasnya.

“Kita hanya menyiapkan dasar saja, kemudian setelah di Palestina akan digembleng kembali.”
Walau mengaku melatih relawan jihad, tapi para santri tidak langsung diterjunkan ke medan perang sesungguhnya. Bahkan bisa jadi, tidak ikut perang sama sekali. “Di Palestina akan ada arahan kembali, mungkin saja dibekali kemampuan yang lain,” jelas Muslim.

***
Akhir Januari, Darul Mujahidin mulai lengang kembali. Namun ‘bau FPI’ masih tersisa di selembar spanduk, dipajang di pagar masuk. Bunyinya, “ulama jahat lebih berbahaya daripada dajjal.” Bekas markas militan ini juga masih menyisakan slogan pembakar semangat, “rumoh ureung meujihad,” jelas tertulis di balai-balai.

Tak hanya itu, anak-anak desa juga telah giat memainkan trik-trik pertempuran. Sebelum mengaji usai Magrib, sempat mereka unjukkan aksi layaknya militan Gaza. “Allahu Akbar….Allahu Akbar!” teriak santri cilik sambil mengacungkan potongan bambu seolah senjata.

Militan jebolan Darul Mujadin sudah dipulangkan ke basisnya, bersiap-siap ke Gaza. Seiring dengan itu, santri lain masih sibuk mengumpulkan dana dari penguna jalan. Menurut Muslim, FPI Pusat yang bertanggungjawab untuk pemberangkatan relawan ke Palestina.

Awal bulan lalu, 15 pendekar lulusan sekitar Exxon telah diberangkatkan ke markas pusat FPI di Jakarta. Sementara sisanya akan dikirim sesuai dengan permintaan FPI Pusat. “Dalam waktu dekat akan diberangkatkan.”

Sebelum diperangkatkan, mereka dipeusijeuk di sebuah pesantren pinggiran Kota Banda Aceh. Menurut Yusuf Al-Qardhawi, mujahid yang telah lulus tes itu tak hanya dikirim ke Palestina, tetapi ke semua negara Islam yang membutuhkan bantuan.

Di antara 15 mujahidin gelombang pertama, katanya, terdapat empat orang yang siap melakukan aksi bom bunuh diri dan dua sniper. “Kami menyebutnya pasukan bom syahid. Bukan pelaku bom bunuh diri karena istilah itu konotasinya negatif yang dilabelkan oleh media asing,” katanya.

Ketika ditanya alasan keempat orang ini siap menjadi pasukan bom syahid, Yusuf mengatakan karena selama latihan, mereka telah teruji dari segi mental dan fisik. “Saat latihan, mualim bilang bahwa keempat orang ini sudah siap dari segi jiwa dan raga untuk menjadi pasukan bom syahid. Mereka mujahidin sejati dan merupakan orang-orang pilihan,” katanya.

“Mereka kami sebut ‘Mujahidin Al Alami’ atau mujahidin internasional yang siap diberangkatkan kemana saja untuk membela umat Islam,” ujarnya. “Mereka sudah menjadi tentara Allah yang telah siap berjuang untuk membela agama Islam.” [a/Tulisan ini dimuat di Majalah ACEHKINI edisi April 2009, beredar Jumat (27 Maret)]

Kepak Sayap Kumbang Sawang

Kepak Sayap Kumbang Sawang

PAGI ITU, CUT MEUTIA KEDATANGAN tamu ‘kelas berat’, pria bersimbah darah dengan peluru bersarang di paha. Di sekitar ruang perawatannya, belasan pria kumal menatap awas setiap pengunjung rumah sakit umum Lhokseumawe itu.

Pria-pria bersandal jepit ini, melarang wartawan bertanya apapun pada atasannya yang baru saja ditembak sekelompok orang di Desa Paya Leubu, Kecamatan Makmur, Bireuen.
Pria cedera itu, Badruddin, 34 tahun, buronan polisi atas kasus penyanderaan mobil Cardi, satu LSM asing yang menjalankan misi kemanusian di Aceh.

Selain itu, ia diburu polisi juga sebab merampok sales rokok, Mei tahun lalu. Pada salah seorang pengikut, dia beberkan yang menembak dirinya kelompok Husaini dan Muktaruddin. Kedua pria dimaksud, mantan ulee sagoe Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang telah bergabung ke Komite Peralihan Aceh (KPA) di Sawang setelah perjanjian damai.

Pengikut Badruddin lalu menyimpan kedua nama itu dalam target balas dendam. Namun sebelum berhasil mencari ‘musuhnya’ itu, polisi lebih dahulu mencekok Badruddin saat dirawat di rumah sakit. Dendam kesumat para pengikutnya memuncah, setelah Badruddin, untuk kedua kalinya mendapat serangan. Kali terakhir, akhir Desember tahun lalu, peluru mengambil nyawanya, (baca: Pedang di Jalan Berlubang).

Beberapa hari berselang, pengikut Badruddin menemukan Muktaruddin, 35 tahun, di Meunasah Pulo, Kecamatan Sawang, sedang melayat di rumah seorang warga yang meninggal. Mantan kombatan itu disiksa, hingga luka gores di sekujur tubuhnya. Hafid, anggota KPA, juga mendapat siksa serupa.

KPA tak tinggal diam. Sejumlah pengikut Badruddin ditangkap dan diserahkan ke polisi. Tuduhannya, mereka terlibat penganiayaan Muktaruddin. Tapi, polisi melepaskan kembali. Dalih polisi, mereka yang diserahkan, tak cukup bukti.
Berbekal keterangan Badruddin sebelum ajal menjemputnya, polisi menangkap Husaini di Geurugok, Kecamatan Gandapura, Bireuen. Zikri, pemilik rumah, saat penggerebekan juga digelandang ke Polres Lhokseumawe malam itu. Dugaannya, Husaini yang menembak Badruddin.

Hanya tiga hari berada di sel polisi, Husaini menghembus nafas terakhir. Polisi sebelumnya, sempat membawa tahanan ke rumah sakit TNI AD Lhokseumawe. Alasannya, Husaini menderita sakit paru-paru. Tapi keluarga, tak sepenuhnya percaya, sebab, ada sejumlah bekas penganiayaan di tubuh korban.

Sementara para pengikut Badruddin, tak luruh dendamnya walau polisi telah menetapkan Husaini tersangka. “Itulah anehnya, mereka tak yakin kalau Husaini yang membunuh,” ujar seorang staf lembaga pemantau perdamaian yang tidak mau disebutkan namanya.
Sumber itu juga menyebutkan, kelompok ini mulanya hanya beranggotakan 50 orang. Anggotanya, tak hanya warga Sawang, tapi berbagai kecamatan di Timur Aceh. Namun mereka tak solid.

Setelah meninggalnya Badruddin, jum¬lahnya menciut. “Ada yang pulang ke kam¬pung, ada yang pergi merantau dan banyak yang memilih tidak peduli,” kata sumber yang terus mengamati kelompok ini.
Begitupun, kelompok ini masih eksis.

Sejumlah warga menyebut, pemimpinnya sudah berganti. Saat ini, dipimpin trio berinisial Brimob, Zack dan Kumbang. Di Sawang, nama-nama ini tak asing. Mereka kerap berkumpul dan mondar-mandir di kedai-kedai desa. Tak jarang juga membekali diri dengan senjata parang. ”Berani–berani orang itu,” ujar seorang warga Punteut, Sawang.

Di bawah kendali trio ini, tiga bulan lalu, sejumlah bendera hijau berlambang bintang bulan diapit pedang di bawahnya bertuliskan, “Allahu Akbar” berkibar di beberapa tempat di Sawang. Pengikut Badruddin, kini sering terlihat membawa parang hilir-mudik di kampung. “Karena itulah warga menyebutnya pasukan pedang,” ujar seorang warga.

Brimob, seorang pentolan ‘pasukan pedang’ ini telah dicokok polisi. Dia terlibat penculikan seorang pengusaha di Juli, Bireuen. Dia ditangkap polisi Bireuen. Darinya, ditemukan sepucuk senjata laras pendek.

Sementara Zack dan Kumbang, yang diduga terlibat penculikan Andrian Moreer, warga Perancis, September lalu, masih buron. Konsultan World Bank itu, diculik tujuh anggota pasukan pedang di Desa Punteut, Kecamatan Sawang. Andrian dan supirnya sempat disekap semalam di semak pedalaman Sawang. Selain menguras seluruh barang berharga milik korban, pelaku minta tebusan Rp 5 miliar. Permintaan tebusan tidak dilayani korban.

Singkat cerita, mereka dibebaskan setelah uang tunai U$ 3.300, satu unit laptop, dua handphone, satu jam tangan, dan ATM Bank BCA milik Andrian, serta mobil Innova BK 1920 HN yang digunakan korban, digasak pelaku. Polisi menemukan mobil korban di kawasan Lhoksukon, Aceh Utara, Oktober lalu.

Saat ditemukan, nomor polisinya mobil silver itu sudah diganti menjadi B 1720 HS. Selain itu, Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) juga dipalsukan. Edy Sofyan, 18 tahun, seorang pelaku juga ditangkap polisi. Ramadhan alias Madan, yang bertugas menyembunyikan mobil pun telah diringkus.

Tertangkapnya Madan membuat Kum¬bang mengamuk. Ia meminta polisi untuk membebaskan anak buahnya. Bila tidak, pasukan pedang akan menyerang. “Ancaman ini membuat kami semakin melancarkan upaya memburu komplotan itu,” kata Ka¬polres Lhokseumawe, AKBP Zulkifli.

Sebelumnya, kata dia, melalui sambungan telepon Si Kubang telah menyatakan akan menyerahkan diri bila semua media massa mau meliput. “Setelah kita tunggu-tunggu, ternyata mereka tidak menyerahkan diri,” katanya.

Jelas bukan karena gentar, kini pihak polisi menambah kekuatan. “Kita diback up Brimob Ki-4 dan Densus 88 Polda Aceh terus memburu kelompok itu. Sampai kapanpun dan kemanapun akan kami kejar,” kata AKBP Zulkifli.

Seorang warga di Sawang menyatakan, mulanya Badruddin memprogandakan pengikutnya untuk tak mengikuti jejak KPA yang menguasai basis ekonomi secara masif. Namun secara perlahan kelompok itu sudah mengarah ke pelaku kriminal. “Mereka ini tidak jelas lagi, maksud dan tujuannya,” ujar sumber itu.

Soal tak menguasai ekonomi secara masif, warga setuju saja. Namun, mereka enggan bergabung dengan pasukan pedang, apalagi setuju aksi kriminal yang dilakukan selama ini. Warga juga mengaku takut dengan kelompok yang dihuni mantan GAM ini.
Juru bicara KPA, Ibrahim Syamsuddin tidak mau berkomentar panjang tentang ini. “Semuanya, kalau kegiatannya sudah melanggar hukum, itu tugasnya polisi. KPA tidak punya kapasitas apa-apa untuk itu,” ujarnya. Kalau menertibkan bekas kombatan, tugas siapa? Tentu bukan Kumbang. [ACEHKINI.CO.ID]